Kisah Tustel yang Malang

on Senin, 15 November 2010

Oleh : AA Gym

Suatu Ketika di Makkah saya melihat seseorang yang memotret dengan tustel canggih.  Prat-pret-prot.  Wah, tustel apaan seperti ini?  pikir saya.  Ternyata, tustelnya menggunakan remote.
“Aa harus punya tustel yang seperti ini?”
“Kenapa memang?”
“Ini penting untuk sejarah pesantren.  Karena kita harus meninggalkan sejarah pesantren dalam bentuk fotografi yang profesional.  Ini walaupun orangnya amatir, hasilnya profesional.  Harus punya, A!”
“Berapa harganya?”
“Masalah harga sebanding dengan teknologi.  Yang penting manfaatnya.  Harga itu lebih kecil dibanding dengan manfaatnya.”
Saya diamkan pertama.  Namun, setiap mau ke Masjidil Haram selalu lewat toko itu.  Lihat, “Aduh bagus nih.  Tinggal satu lagi ..., Jangan-jangan dibeli orang lain.  Gimana kalau dibeli orang? Aduh ....”
Shalat pun hancur.  Itu betul.  Pulang dari masjid muter lewat toko itu lagi.  Begitu ditipunya.
“Ma, kita perlu ya, beli tustel.”
“Aa teh nanya atau mau meyakinkan?”
“Kita kan perlu Ma, bikin kalender, sejarah.”
“Harganya berapa?”
Saya sebutin harganya, agak mahal.
“Wah A, hati-hati, menurut ceramah Aa makin mahal makin nyiksa.”
“Iya tapi kan itu buat orang lain ....”
“Awas, A.  Hati-hati jangan terjebak oleh nafsu.” Ada benarnya juga.  Tapi, ya, nggak kuat ingin sekali.
“Ma, doakan saja.  Ini mah penting.”
Akhirnya, saya beli.  Dan tustel ini mulai menyiksa dan memperbudak.  Ke masjid nggak boleh masuk karena dilarang bawa tustel.  Shalat kadang-kadang diluar karena ingin motret.  Motret saja terus.  Ketika diafdruk, kaget tidak ada wajah sayanya karena tidak boleh dipinjam.
Pulang ke Indonesia.  Taruh di mana.  Di atas takut jatuh.  Dekat tempat tidur, takut dimainkan anak.  Euuh ...benar-benar menyiksa.
Kalau ada yang mau pinjam, saya menjadi orang yang sangat cerewet.
Sampai akhirnya datanglah pertolongan Allah yang Maha Agung.  Suatu saat ada pesantren kilat, tustel ini dipinjam oleh panita.  Di lapangan IKIP, sesudah olah raga rupanya tustel itu disimpan di pinggir pagar.
“Aa, tustel itu tadi saya simpan di pinggir pagar.  Tapi ketika saya datang, tustel itu sudah nggak ada, A.”
“Hah, nggak ada?  Alhamdulillah! Selamat sekarang, tidak akan takut hilang lagi, tidak akan takut rusak.  Tidak usah banyak dipikirkan.”
Demi Allah, sampai sekarang masih banyak yang motret, tidak harus pakai tustel itu.  Demikianlah pertolongan Allah.  Jangan sampai kita diperbudak oleh sesuatu yang mahal karena semua itu akan meyiksa sekali seperti pengalaman tadi.



 

0 komentar:

Posting Komentar